Judul : Seorang Marrisa haque Yang Bergelar Doktor dan Professor bunyani Kok Bisa Tertipu Media Hoax?
link : Seorang Marrisa haque Yang Bergelar Doktor dan Professor bunyani Kok Bisa Tertipu Media Hoax?
Seorang Marrisa haque Yang Bergelar Doktor dan Professor bunyani Kok Bisa Tertipu Media Hoax?
Lagi-lagi Dr. Hj Marissa Haque membuat kehebohan di jagad twitter. Kali ini karena Ia mengunggah sebuah berita dari situs abal-abal yang mencomot nama CNN Indonesia. Judul berita itu panjang sekali “Tertipu Hutang Karangan Bunga Untuk Ahok 1,3 Miliar : Pemilik Lucky Florist, Feriyanto (32) Mengaku Kecewa Karangan Bunga Yang Dipesan Tapi Belum Dibayar Lunas, Dia Menegaskan Akan Menempuh Jalur Hukum Tim Ahok yang Ditagih Hutang Malah Mengancam Keluarganya”.
Dari segi tampilan saja, berita itu sudah kelihatan abal-abalnya. Bandingkan dengan tampilan asli CNN Indonesia berikut ini :
Kedua, dari judulnya saja sudah tidak memenuhi kaidah jurnalistik. Mana ada judul media sebesar CNN ditulis sepanjang itu? Tentu netizen jadi mempertanyakan bagaimana mungkin Marissa Haque yang selalu bangga dengan pendidikan tingginya (S3 dan punya gelar sarjana dari beberapa disiplin ilmu) bisa demikian mudahnya tertipu? Diunggah pula di akun pribadinya. Yang membuat saya heran juga, apakah kalimat “lebih baik untuk anak yatim/sosial daripada dibuat bunga untuk Ahok” sudah menjadi template nyinyiran kubu yang berseberangan dengan Ahok?
Pihak Lucky Florist sendiri sampai membuat klarifikasi di akun Instagram mereka untuk menegaskan bahwa berita yang disebarkan Marissa itu salah. Mereka menjelaskan pesanan-pesanan yang masuk sudah dibayar lunas dan yang memesan bukan satu orang, melainkan banyak orang baik dari Jakarta, luar Jakarta, sampai luar negeri. Lagipula sebetulnya sudah banyak juga media yang mewawancarai beberapa penjual toko bunga di Jakarta dan mereka semua mengatakan bahwa karangan bunga untuk Ahok-Djarot itu yang memesan memang berbagai elemen masyarakat, bukan settingan kubu Ahok seperti yang dituduhkan selama ini.
Ada pula Buni Yani yang bersitegang dengan Profesor Yusuf L. Henuk, profesor pertanian dari Universitas Sumatera Utara (USU). Ia mengecap Prof. Yusuf kampungan dan menantangnya membuktikan kemampuan sebagai akademisi. Komentar Prof Yusuf tentang kasus hukumnya dan juga kasus hukum Ahok dipandang tidak karena semata karena Prof Yusuf orang pertanian. Lah memangnya kalau sekedar berkomentar harus menjadi ahli dalam suatu bidang? Kecuali kalau kapasitasnya sebagai saksi ahli baru hal itu dilakukan. Prof Yusuf berkomentar sebagai seorang warga biasa, bukan berbicara secara keilmuan. Lah kalau logika yang sama harusnya Buni Yani juga tidak berhak mengatakan Ahok menista agama karena Ia sendiri bukan ahli agama bukan?
Entahlah Marissa dan Buni Yani ini sedang memberikan gambaran apa atas sebagian kelompok masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi. Dalam pandangan kita secara umum tentu kita berpikir bahwa masyarakat yang berpendidikan tinggi tidak akan mudah termakan hoax atau juga tidak akan mudah mempersoalkan hal remeh.
Dalam psikologis masyarakat kita, mereka yang berpendidikan tinggi ataupun memiliki profesi seperti dosen dipandang sebagai intelektual dan orang yang layak dihormati. Sehingga banyak masyarakat yang percaya begitu saja dengan apapun yang orang berpendidikan tinggi katakan. Buni Yani menyandang gelar master dan sebelumnya adalah seorang dosen, Marissa Haque juga punya sederet gelar yang kadang membuat kita ternganga dan membatin “nggak capek apa ya sekolahnya?“.
Dunia digital telah menghadirkan platform media sosial yang memungkinkan orang satu sama lain saling berinteraksi dan berkomentar meski tak mengenal satu sama lain. Dalam ranah kebebasan berdemokrasi sah-sah saja orang berpendapat asalkan tidak melanggar hukum ataupun menyinggung SARA. Misalkan Prof. Yusuf punya pendapat atas kasus Buni Yani dan Ahok, itu haknya berkomentar. Buni Yani tidak boleh marah apalagi sampai menuduhnya kampungan karena menuliskan gelarnya di media sosial. Gelar memang tidak harus ditampilkan di media sosial, namun jika orang ingin menuliskannya tentu sah-sah saja asalkan Ia siap dengan konsekuensinya dan tidak sensitif jika ada pihak lain yang menilai kepantasan antara gelar dan perilaku seseorang di media sosialnya.
Misalnya Prof. Yusuf, Ia menampilkan identitasnya sebagai dosen. Tutur katanya pun terkesan terpelajar. Isi cuitannya juga masuk akal. Tidak ada yang bertentangan dengan gelar yang Ia tuliskan di situ. Berbeda ketika Marissa menuliskan gelar Doktornya di akun twitternya namun Ia ternyata mengunggah berita yang jelas-jelas hoax maka netizen pun menanyakan “kok Doktor begitu saja tidak bisa membedakan mana hoax dan tidak?“. Kita bertanggungjawab dengan apa identitas dan citra yang ingin kita tampilkan di media sosial. Kalaupun Buni Yani tidak suka dengan apa yang Prof Yusuf katakan maka twitter sesungguhnya sudah menyediakan fitur block ataumute. Tidak perlu kemudian sampai mengampung-ngampungkan orang lain yang bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda yang bersangkutan bersifat seperti itu. Jangan malah bersikap seperti orang tidak mengenyam pendidikan. seword
Demikianlah Artikel Dari Admin Gondrong Seorang Marrisa haque Yang Bergelar Doktor dan Professor bunyani Kok Bisa Tertipu Media Hoax?
Sekianlah artikel Seorang Marrisa haque Yang Bergelar Doktor dan Professor bunyani Kok Bisa Tertipu Media Hoax? kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Seorang Marrisa haque Yang Bergelar Doktor dan Professor bunyani Kok Bisa Tertipu Media Hoax? dengan alamat link https://curup-idaman.blogspot.com/2017/04/seorang-marrisa-haque-yang-bergelar.html
0 Response to "Seorang Marrisa haque Yang Bergelar Doktor dan Professor bunyani Kok Bisa Tertipu Media Hoax?"
Post a Comment